Ilmu Mantiq Sangat Perlu?..

علم المنطق ، ايمانغ الحاجة؟

بعد SPPI في أماكن كثيرة "مشغول" لوضع الناس الذين يختلفون معه باستمرار بين تلك 'الفكر هرطقة" بدلا من dalil2 الإصلاح التي استخدمها ، SPPI يقولون أيضا ان الكتاب KW Ustadz أبو Syuqqah ليس للشخص العادي (مثلي و teman2 غيرها) ، بالإضافة إلى الرسالة التي يجب ان يعلمها الجميع علم المنطق حتى لا "التفكير الخاطئة" في فهم الشريعة perkara2 خصوصا ضد فكرة أن له محفة.

ولكن لدينا حقا لفهم المنطق العلمي لفهم الإسلام؟ هل هناك dalil2 القرآنية (سورة القرآن والسنة) والتي تفرض علينا ذلك؟ أو هل الصحابة radhiallahu'anhum درس المنطق؟ لا imam2 المذهب 4 كما درس المنطق؟ الجواب ليس صحيحا وليس في مكان لدينا لتعلم علوم الدين الشرعية لفهم هذا المنطق.

وقال في أساليب الكتاب للفكر الإسلامي (هذا المصطلح Manhajut tafkir الإسلامي) عمل الأستاذ الدكتور عقل Gharishah علي عندما تصف العلاقة مع الوحي ".. علاقة بين العقل والوحي التي ساهمت في التوصل الى نتيجة ايجابية على الاطلاق. وهكذا ولدت العلوم المختلفة ، مثل : فقه العلم وأصول الفقه العلوم ، والعلوم Musthalah الحديث ، الخ.

على عكس ما ذكر أعلاه ، علم المنطق هو العلم الذي ولدت من الوحي. هو زرع العلم من اليونان ، وعندما يتم بيعها في ترجمة الفلسفة اليونانية في العصر العباسي. العلم الكثير لانتقاد ولكن الكثير أيضا menggemarinya. وكنا في ذلك إلا أن أذكر في أي وقت وفقا لارادة الله. أدناه نحاول أربعة أنواع من العلم الذي يستكشف فترة وجيزة وبالتسلسل : علم الفقه ، علم الفقه الاقتراح ، والعلم الحديث وعلوم المنطق musthalah.
علم الفقه.
في وقت النبي محمد للمسلمين تقبل الشريعة الإسلامية مباشرة من النبي محمد عن طريق قراءة القرآن ، وفهم وممارسة كلمة الأمر. بالإضافة إلى ذلك ، أنها أيضا الحصول على استمارة إضافية الوحي من الله سبحانه وتعالى في شكل التعبير ، والإيماءات ، والرسل والقوانين.
اذا وجدوا حالات جديدة والاجتهاد وفقا لتوجيهات النبي محمد ، وهذا هو مع ما يعرفونه من القرآن والسنة ، بناء على خبرتها وعلى مقربة من عملية الوحي ، وذلك بفضل معرفتهم الوحي بأن الكشف عن الأسباب ، وذلك بفضل الدروس التي يحصلون عليها من مدرسة النبي محمد.

Ilmu Mantiq, emang perlu??

Setelah SPPI dalam banyak tempat ‘sibuk’ menempatkan orang yang tidak sepaham dengan beliau ke dalam golongan orang-orang ‘sesat-pikir’ daripada membenahi dalil2 yang beliau gunakan, SPPI juga berdalih bahwa buku KW Ustadz Abu Syuqqah bukanlah untuk orang awam (seperti saya dan teman2 lainnya), ditambah lagi dengan sebuah pesan agar setiap orang hendaknya mempelajari ilmu mantiq agar tidak “sesat-pikir” dalam memahami perkara2 syariat terutama terhadap ide yang beliau usung.

Tetapi benarkah kita harus memahami ilmu mantiq untuk memahami Islam?? Apakah ada dalil2 Qurani (Al Quran dan Sunnah) yang mewajibkan kita akan hal itu?? atau Apakah para sahabat radhiallahu’anhum belajar ilmu mantiq?? Apakah imam2 madzhab 4 juga mempelajari ilmu mantiq?? jawabannya adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya kita harus mempelajari ilmu mantiq untuk memahami syariat agama ini.

Dalam buku Metode Pemikiran Islam (bahasa kerennya Manhajut Tafkir Al Islami) buah karya Prof DR Ali Gharishah ketika menjelaskan hubungan akal dengan wahyu, beliau berkata “..Pertautan antara akal dengan wahyu itu telah memberikan hasil guna yang positif sekali. Dan karena itu lahirlah berbagai ilmu, seperti : Ilmu Fiqh, Ilmu Usul Fiqh, Ilmu Musthalah Hadits, dll.

Berlainan dengan hal diatas, ilmu mantiq adalah ilmu yang lahir diluar wahyu. Ilmu ini dicangkok dari Yunani, ketika penterjemahan filsafat Yunani pada zaman Abbasiyah sedang laris. Ilmu itu banyak yang mencela tetapi banyak juga yang menggemarinya. Dan kami dalam hal ini hanya mengingatkan saja dengan kehendak Allah. Dibawah ini kami mencoba mengetengahkan keempat macam ilmu tersebut secara singkat dan berurutan :ilmu fiqh, ilmu usul fiqh, ilmu musthalah hadits dan ilmu mantiq.
Ilmu Fiqh.
Pada zaman rasulullah SAW kaum muslimin menerima hukum-hukum Islam secara langsung dari rasulullah SAW dengan cara membaca Al Quran, memahaminya dan mengamalkan titah perintahNya. Selain itu, mereka juga mendapatkan tambahan berupa wahyu dari Allah Ta’ala dalam bentuk ucapan, tindak-tanduk, dan ketetapan rasul.
Apabila mereka menemukan kasus baru, mereka berijtihad sesuai dengan bimbingan rasulullah SAW, yaitu dengan apa yang mereka ketahui dari Al Quran dan Sunnah, berdasarkan pengalaman mereka karena dekatnya dengan proses turunnya wahyu, berkat pengetahuan mereka terhadap sebab musabab diturunkannya wahyu itu, dan berkat pelajaran yang mereka peroleh dari sekolah rasulullah SAW.

Sejak itulah ilmu fiqh lahir ke dunia tanpa nama dan tanpa pencacahan atau pendaftaran. Jejak mereka itu juga diikuti oleh para imam yang juga aktif dalam lapangan ijtihad. Pada abad kedua dan ketiga hijriyah dimulailah penulisan sunnah dan penulisan fiqh. Dan yang pertama-tama adalah penulisan buku Al Muwatha Imam Malik, sesuai dengan permintaan Khalifah Al Mansyur. Kitab ini merupakan kitab hadits sekaligus kitab fiqh. Menyusul langkah Imam Malik adalah Imam Abu Yusuf, rekan Abu Hanifah, yang menulis beberapa buah buku serupa. Kemudian Imam Muhammad bin Al Hasan menulis bukunya “Dhahirur riwayah Assittah, dihimpun oleh Al Hakim yang tersohor dalam Al Kafi dan diberikan penjelasan oleh As Sarkhasi dalam Al Mabsuth. Disusul sesudah itu oleh Asy Syafi’i dengan bukunya Al Um, yang merupakan pegangan mahzab Syafi’i.
Sejak masa itu pesatlah ijtihad dan penulisan kitab. Ilmu Fiqh model diatas (yang mengaitkan ijtihad) adalah merupakan perkawinan antara pemikiran dan wahyu, atau dengan kata lain “pencerahan akal dengan wahyu”. Ternyata ia merupakan ilmu Islam yang paling subur, jauh mendahului apa yang diberikan eropa sesudah mereka mencapai puncak kejayaan pemikiran dalam menguraikn perundang-undangan atau teori2 Fiqh.
Ilmu Usul Fiqh
Kalau ilmu fiqh sudah dipraktekkan sejak masa para sahabat diabad pertama Hijriyah, ilmu usul fiqh mulai muncul diabad ke dua Hijriyah, berbarengan dengan semakin meluasnya ijtihad para ahli fiqh. Mereka menampilkan bukti2 melalui hasil ijtihad mereka, dan akhirnya mereka meletakkan ketentuan2 yang kemudian berkembang menjadi kaidah2 usul.

Adapun orang pertama yang menghimpun kaidah2 tersebut ke dalam sebuah buku adalah Al Imam Abu Yusuf rekan Abu Hanifah, namun apa yang disusunnya tersebut tidak sampai kepada kita. Adapun orang pertama yang menulis kumpulan tersendiri, teratur dan didukung dengan bukti2 ialah Al Imam muhammad bin Idris As Syafi’i dalam Ar Risalah. Karena itulah Syafi’i dikenal sebagai penyusun ilmu usul.
Ilmu usul fiqh ini berguna sekali dalam menentukan hukum2 fiqh, serta membantu para mujtahidin menemukan hukum2 syari’ah yang benar dan tepat, baik dalam mengambil keputusan hukum maupun dalam memberikan fatwa dan atau dalam pembahasan ilmiyah. Ilmu seperti ini hampir tidak dijumpai di Barat(Eropa dan Amerika, dsb) kecuali beberapa teori yang disusun untuk menafsirkan nash2 (teks) hukum dan penyusunan kontrol2nya, sehingga orang menganggap perlu mengetahui ilmu yang agung ini meskipun dalam lapangan hukum positif.
Ilmu Musthalah hadits
Allah SWT senantiasa meindungi Kitab (Al Quran) ummat ini, dan senantiasa juga melindungi sunnah Rasulullah, karena ia juga merupakan sebagian dari wahyuNya, seperti dalam firmanNya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan peringatan (Al Quran0 dan sesungguhnya Kami memeliharanya” (QS AL Hijr :9)

Apabila kita memperhatikan apa yang tersurat dalam teks tersebut, ia adalah merupakan permasalahan syariat, dan bukan hanya sekedar ungkapan, akan tetapi secara tersirat ia juga memberikan isyarat. Adapun pemeliharaan terhadap kitab tersebut sudah jelas diterima secara mutawatir, disimpan dalam dada dan dalam tulisan.
Adapun pemeliharaan sunnah dan hadits, dengan karuniaNya Dia telah mentakdirkan banyak diantara para sahabat rasulullah SAW yang mampu menghafal kata2, perbuatan, keputusan/ketetapan dan sifat2 beliau SAW. Mereka semua orang2 jujur, dan sebagian mereka hafal didalam dada atau hafal diluar kepala, dan sebagian dari mereka memeliharanya dalam tulisan2, jangan sampai hadits berbaur dengan Al Quran.
Kemudian tibalah masa Khalifah Umar bin Abdul ‘Azis, yang oleh Imam Syafi’i digelari khulafaur rasyidin kelima, yang memerintahkan supaya membukukan As Sunnah. Menyusul setelah itu dari Imam Ahli Sunnah Al Imam Malik ra, kemudian Imam Bukhari yang menyusun jga dengan syarat2nya, kemudian Imam Muslim yang juga menyusun dengan syarat2nya, dan baru lah setelah itu menyusul para ahli kitab yang enam, yang berusaha mencari kemabli yang benar, yang memurnikan kembali sunnah Rasul dari berbagai kepalsuan dan perubahan.
Demikianlah asal-muasal orang mengenal ilmu Musthalah hadits, kemudian daripadanya berkembanglah ilmu rijalul hadits, dan kaidah ilmu Al Jahr wa Ta’dil bagi perawi hadits. Dalam ilmu itulah ulama Islam mencapai puncak karir yang belum ada lawannya sampai sekarang. bahkan sampai saat ini ilmu itu tersaingi dan tertandingi oleh ilmu orang barat, meskipun dalam ilmu lainmereka sudah jauh meninggalkan kita. Dengan demikian jelaslah sekali lagi bagaimana jerih payah ijtihad manusia yang menggunakan nur wahyu sebagai penyuluhnya, akan senantiasa mendapatkan karunia perlindungan dan pemeliharaan dari Allah SWT :

“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak akan memperoleh cahaya”(QS An Nur:40)
Ilmu Mantiq

Al Mantiq dikenal orang sejak sebelum masehi khususnya dikalangan bangsa Yunani, dengan aristoteles sebagai gurunya(322-384 SM). Ilmu ini merupakan suatu kaidah intelektualisme, berdaya guna dalam mengadakan perdebatan atau persaingan. Hanya situasi pemindahannya dalam bahasa Arab yang terjadi dizaman dinasti Abbasiyah, sangat memburukkannya.
Malah kesan sementara orang terhadap ilmu ini seolah-olah hanya berupa suatu debat kusir, sofisme(ucapan yang pura2 dalam tetapi sebenarnya kosong), dan lain2 yang semakin menambah buruknya. Dikalangan ulama Islam sendiri ada yang mendukungnya dengan gigih, seperti Al Imam Abu Hamid Al Ghazali, dimana dalam mukadimah kitabnya Al Musthafa ia menyatakan “Sebenarnya salah satu syarat seorang alim yang mujtahid, haruslah mendalami ilmu mantiq(logika), pandai membawa bukti dan menampilkan qias(perbandingan)”.
Dan ada pula yang menyerangnya habis2an seperti Ibnu Taimiyah, dimana Al Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa jilid 9, hal 270 menyatakan “Tidak tepat baik dipandang dari sudut agama maupun sudut akal, kata orang yang menyatakan bahwa mempelajarinya suatu fardhu kifayah. Ilmu ini sebagian hak(benar) dan sebagian batil(sesat) dan sebenarnya yang ada didalamnya tidak dibutuhkan..”.
Dan ada pula yang berdiri ditengah2 tidak memihak kesana atau kesini, membenarkan apa yang benar dan menyingkirkan apa yang salah.
Kami berpendapat dalam soal ini kiranya hal itu tidak usah dibicarakan secara mendalam bahwa keburukan ilmu mantiq bukan karena mereka hasil import, berapa banyak sudah ilmu2 lain yang diimport. Apalagi ia memiliki segi2 yang mengandung hikmah, dan hikmah itu adalah milik orang mukmin, jadi dimana ia ditemukan ya disitulah, dan orang tersebutlah yang paling berhak memilikinya.
Keburukan dari ilmu tersebut adalah karena ia tidak diperlukan. Memang benar didalamnya terdapat aksioma-aksioma, namun tidak diperlukan ilmu dan kaidah tersendiri. Maka tidak salah kalau kita akan membuang-buang waktu dan tenaga karenanya.
Dalam upaya kami untuk mengesampingkan Al Mantiq, kami berusaha menyusun kaidah2 yang bersumber dari Al Quran, dan usul2 fiqh sebagai gantinya, untuk memperoleh hasil guna dari keduanya dalam materi berdialog dan berdebat dalam membahas dan mencari kebenaran. InsyaAllah.
=================================


Kalaupun Al Imam Al Ghazali menekankan pentingnya mempelajari ilmu mantiq, tetapi ketahuilah, bahwa beliau menyatakan “fardhu kifayah” itu bagi mereka yang alim mujtahid, bukan bagi kebanyakan orang awam. Dimana sebelum Imam Al Ghazali mempelajari ilmu mantiq itu sendiri, beliau telah dikenal sebagai ahli syariah, juga seorang ahli fiqh, dan dengan kemampuannya itu beliau dapat memfilter untuk dirinya apa yang baik dari ilmu mantiq dan menggunakannya dengan benar, serta membuang apa2 yang menjadikan rusaknya cara pikir. Dan sungguh benar yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Tidak tepat baik dipandang dari sudut agama maupun sudut akal, kata orang yang menyatakan bahwa mempelajarinya suatu fardhu kifayah. Ilmu ini sebagian hak(benar) dan sebagian batil(sesat) dan sebenarnya yang ada didalamnya tidak dibutuhkan..”. Karena setiap manusia sudah dianugrahi akal oleh Allah, kita tidak butuh pelajaran aksioma2, ungkapan2 yang dalam tapi kosong, perumpamaan2 nisbi dll untuk berfikir dan memahami syariat agama ini, hanya buang2 waktu dan energi. Justru yang kita perlukan dalam memahami persoalan2 syariat agama ini adalah penjelasan yang benar dan lurus berdasarkan kaidah2 yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, dilanjutkan oleh para sahabat, dan dikembangkan oleh para imam mujtahidin yang hanif(lurus). Lantas atas dasar apa kita harus mempelajarinya???
Dan rasanya tidaklah berlebihan jika kita katakan ilmu mantiq ini memang memiliki tingkat ‘kerusakan’ yang cukup parah jika dipahami bahwa ia adalah segala2nya, banyak kita saksikan pelajar2 dan sarjana2 kita yang dulunya didalam negeri adalah orang2 yang hanif, mereka mendapat beasiswa/ bersekolah diluar negeri, dan ketika pulang ke dalam negeri, menjadi orang yang ‘nyeleneh’. Serta parahnya lagi, virus2 kerusakan pemikiran ini ternyata cukup berkembang di perguruan tinggi negeri islam di indonesia. Dimana kita pernah membaca beberapa kasus, seperti penginjakan lafadz Allah yang dilakukan oleh salah satu dosen, sekelompok mahasiswa yang berteriak “Anjing hu Akbar”, atau fenomena adanya ‘jilbaber’ yang senang berpacaran, merokok, dll. Sudahlah merugikan diri sendiri, merugikan orang lain lagi. So, berhati2ah dengan apa yang kita baca, kita dengar, dan kita lihat, karena ga semua yang kita baca, dengar, dan lihat itu adalah benar, meski itu datang dari seorang yang kelihatannya berpendidikan tinggi. Pelajari syariat agamamu, pahami dengan fitrah nuranimu, amalkan, dan sebarkan.
Wallahu’alam
Sumber link
http://pacaranislamikenapa.wordpress.com/2007/09/30/ilmu-mantiq-emang-perlu/