Apakah Ilmu Mantiq Perlu?

علم المنطق ، ايمانغ الحاجة؟

بعد SPPI في أماكن كثيرة "مشغول" لوضع الناس الذين يختلفون معه باستمرار بين تلك 'الفكر هرطقة" بدلا من dalil2 الإصلاح التي استخدمها ، SPPI يقولون أيضا ان الكتاب KW Ustadz أبو Syuqqah ليس للشخص العادي (مثلي و teman2 غيرها) ، بالإضافة إلى الرسالة التي يجب ان يعلمها الجميع علم المنطق حتى لا "التفكير الخاطئة" في فهم الشريعة perkara2 خصوصا ضد فكرة أن له محفة.

ولكن لدينا حقا لفهم المنطق العلمي لفهم الإسلام؟ هل هناك dalil2 القرآنية (سورة القرآن والسنة) والتي تفرض علينا ذلك؟ أو هل الصحابة radhiallahu'anhum درس المنطق؟ لا imam2 المذهب 4 كما درس المنطق؟ الجواب ليس صحيحا وليس في مكان لدينا لتعلم علوم الدين الشرعية لفهم هذا المنطق.

وقال في أساليب الكتاب للفكر الإسلامي (هذا المصطلح Manhajut tafkir الإسلامي) عمل الأستاذ الدكتور عقل Gharishah علي عندما تصف العلاقة مع الوحي ".. علاقة بين العقل والوحي التي ساهمت في التوصل الى نتيجة ايجابية على الاطلاق. وهكذا ولدت العلوم المختلفة ، مثل : فقه العلم وأصول الفقه العلوم ، والعلوم Musthalah الحديث ، الخ.

على عكس ما ذكر أعلاه ، علم المنطق هو العلم الذي ولدت من الوحي. هو زرع العلم من اليونان ، وعندما يتم بيعها في ترجمة الفلسفة اليونانية في العصر العباسي. العلم الكثير لانتقاد ولكن الكثير أيضا menggemarinya. وكنا في ذلك إلا أن أذكر في أي وقت وفقا لارادة الله. أدناه نحاول أربعة أنواع من العلم الذي يستكشف فترة وجيزة وبالتسلسل : علم الفقه ، علم الفقه الاقتراح ، والعلم الحديث وعلوم المنطق musthalah.
علم الفقه.
في وقت النبي محمد للمسلمين تقبل الشريعة الإسلامية مباشرة من النبي محمد عن طريق قراءة القرآن ، وفهم وممارسة كلمة الأمر. بالإضافة إلى ذلك ، أنها أيضا الحصول على استمارة إضافية الوحي من الله سبحانه وتعالى في شكل التعبير ، والإيماءات ، والرسل والقوانين.
اذا وجدوا حالات جديدة والاجتهاد وفقا لتوجيهات النبي محمد ، وهذا هو مع ما يعرفونه من القرآن والسنة ، بناء على خبرتها وعلى مقربة من عملية الوحي ، وذلك بفضل معرفتهم الوحي بأن الكشف عن الأسباب ، وذلك بفضل الدروس التي يحصلون عليها من مدرسة النبي محمد.

Ilmu Mantiq, emang perlu??

Setelah SPPI dalam banyak tempat ‘sibuk’ menempatkan orang yang tidak sepaham dengan beliau ke dalam golongan orang-orang ‘sesat-pikir’ daripada membenahi dalil2 yang beliau gunakan, SPPI juga berdalih bahwa buku KW Ustadz Abu Syuqqah bukanlah untuk orang awam (seperti saya dan teman2 lainnya), ditambah lagi dengan sebuah pesan agar setiap orang hendaknya mempelajari ilmu mantiq agar tidak “sesat-pikir” dalam memahami perkara2 syariat terutama terhadap ide yang beliau usung.

Tetapi benarkah kita harus memahami ilmu mantiq untuk memahami Islam?? Apakah ada dalil2 Qurani (Al Quran dan Sunnah) yang mewajibkan kita akan hal itu?? atau Apakah para sahabat radhiallahu’anhum belajar ilmu mantiq?? Apakah imam2 madzhab 4 juga mempelajari ilmu mantiq?? jawabannya adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya kita harus mempelajari ilmu mantiq untuk memahami syariat agama ini.

Dalam buku Metode Pemikiran Islam (bahasa kerennya Manhajut Tafkir Al Islami) buah karya Prof DR Ali Gharishah ketika menjelaskan hubungan akal dengan wahyu, beliau berkata “..Pertautan antara akal dengan wahyu itu telah memberikan hasil guna yang positif sekali. Dan karena itu lahirlah berbagai ilmu, seperti : Ilmu Fiqh, Ilmu Usul Fiqh, Ilmu Musthalah Hadits, dll.

Berlainan dengan hal diatas, ilmu mantiq adalah ilmu yang lahir diluar wahyu. Ilmu ini dicangkok dari Yunani, ketika penterjemahan filsafat Yunani pada zaman Abbasiyah sedang laris. Ilmu itu banyak yang mencela tetapi banyak juga yang menggemarinya. Dan kami dalam hal ini hanya mengingatkan saja dengan kehendak Allah. Dibawah ini kami mencoba mengetengahkan keempat macam ilmu tersebut secara singkat dan berurutan :ilmu fiqh, ilmu usul fiqh, ilmu musthalah hadits dan ilmu mantiq.
Ilmu Fiqh.
Pada zaman rasulullah SAW kaum muslimin menerima hukum-hukum Islam secara langsung dari rasulullah SAW dengan cara membaca Al Quran, memahaminya dan mengamalkan titah perintahNya. Selain itu, mereka juga mendapatkan tambahan berupa wahyu dari Allah Ta’ala dalam bentuk ucapan, tindak-tanduk, dan ketetapan rasul.
Apabila mereka menemukan kasus baru, mereka berijtihad sesuai dengan bimbingan rasulullah SAW, yaitu dengan apa yang mereka ketahui dari Al Quran dan Sunnah, berdasarkan pengalaman mereka karena dekatnya dengan proses turunnya wahyu, berkat pengetahuan mereka terhadap sebab musabab diturunkannya wahyu itu, dan berkat pelajaran yang mereka peroleh dari sekolah rasulullah SAW.

Sejak itulah ilmu fiqh lahir ke dunia tanpa nama dan tanpa pencacahan atau pendaftaran. Jejak mereka itu juga diikuti oleh para imam yang juga aktif dalam lapangan ijtihad. Pada abad kedua dan ketiga hijriyah dimulailah penulisan sunnah dan penulisan fiqh. Dan yang pertama-tama adalah penulisan buku Al Muwatha Imam Malik, sesuai dengan permintaan Khalifah Al Mansyur. Kitab ini merupakan kitab hadits sekaligus kitab fiqh. Menyusul langkah Imam Malik adalah Imam Abu Yusuf, rekan Abu Hanifah, yang menulis beberapa buah buku serupa. Kemudian Imam Muhammad bin Al Hasan menulis bukunya “Dhahirur riwayah Assittah, dihimpun oleh Al Hakim yang tersohor dalam Al Kafi dan diberikan penjelasan oleh As Sarkhasi dalam Al Mabsuth. Disusul sesudah itu oleh Asy Syafi’i dengan bukunya Al Um, yang merupakan pegangan mahzab Syafi’i.
Sejak masa itu pesatlah ijtihad dan penulisan kitab. Ilmu Fiqh model diatas (yang mengaitkan ijtihad) adalah merupakan perkawinan antara pemikiran dan wahyu, atau dengan kata lain “pencerahan akal dengan wahyu”. Ternyata ia merupakan ilmu Islam yang paling subur, jauh mendahului apa yang diberikan eropa sesudah mereka mencapai puncak kejayaan pemikiran dalam menguraikn perundang-undangan atau teori2 Fiqh.
Ilmu Usul Fiqh
Kalau ilmu fiqh sudah dipraktekkan sejak masa para sahabat diabad pertama Hijriyah, ilmu usul fiqh mulai muncul diabad ke dua Hijriyah, berbarengan dengan semakin meluasnya ijtihad para ahli fiqh. Mereka menampilkan bukti2 melalui hasil ijtihad mereka, dan akhirnya mereka meletakkan ketentuan2 yang kemudian berkembang menjadi kaidah2 usul.

Adapun orang pertama yang menghimpun kaidah2 tersebut ke dalam sebuah buku adalah Al Imam Abu Yusuf rekan Abu Hanifah, namun apa yang disusunnya tersebut tidak sampai kepada kita. Adapun orang pertama yang menulis kumpulan tersendiri, teratur dan didukung dengan bukti2 ialah Al Imam muhammad bin Idris As Syafi’i dalam Ar Risalah. Karena itulah Syafi’i dikenal sebagai penyusun ilmu usul.
Ilmu usul fiqh ini berguna sekali dalam menentukan hukum2 fiqh, serta membantu para mujtahidin menemukan hukum2 syari’ah yang benar dan tepat, baik dalam mengambil keputusan hukum maupun dalam memberikan fatwa dan atau dalam pembahasan ilmiyah. Ilmu seperti ini hampir tidak dijumpai di Barat(Eropa dan Amerika, dsb) kecuali beberapa teori yang disusun untuk menafsirkan nash2 (teks) hukum dan penyusunan kontrol2nya, sehingga orang menganggap perlu mengetahui ilmu yang agung ini meskipun dalam lapangan hukum positif.
Ilmu Musthalah hadits
Allah SWT senantiasa meindungi Kitab (Al Quran) ummat ini, dan senantiasa juga melindungi sunnah Rasulullah, karena ia juga merupakan sebagian dari wahyuNya, seperti dalam firmanNya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan peringatan (Al Quran0 dan sesungguhnya Kami memeliharanya” (QS AL Hijr :9)

Apabila kita memperhatikan apa yang tersurat dalam teks tersebut, ia adalah merupakan permasalahan syariat, dan bukan hanya sekedar ungkapan, akan tetapi secara tersirat ia juga memberikan isyarat. Adapun pemeliharaan terhadap kitab tersebut sudah jelas diterima secara mutawatir, disimpan dalam dada dan dalam tulisan.
Adapun pemeliharaan sunnah dan hadits, dengan karuniaNya Dia telah mentakdirkan banyak diantara para sahabat rasulullah SAW yang mampu menghafal kata2, perbuatan, keputusan/ketetapan dan sifat2 beliau SAW. Mereka semua orang2 jujur, dan sebagian mereka hafal didalam dada atau hafal diluar kepala, dan sebagian dari mereka memeliharanya dalam tulisan2, jangan sampai hadits berbaur dengan Al Quran.
Kemudian tibalah masa Khalifah Umar bin Abdul ‘Azis, yang oleh Imam Syafi’i digelari khulafaur rasyidin kelima, yang memerintahkan supaya membukukan As Sunnah. Menyusul setelah itu dari Imam Ahli Sunnah Al Imam Malik ra, kemudian Imam Bukhari yang menyusun jga dengan syarat2nya, kemudian Imam Muslim yang juga menyusun dengan syarat2nya, dan baru lah setelah itu menyusul para ahli kitab yang enam, yang berusaha mencari kemabli yang benar, yang memurnikan kembali sunnah Rasul dari berbagai kepalsuan dan perubahan.
Demikianlah asal-muasal orang mengenal ilmu Musthalah hadits, kemudian daripadanya berkembanglah ilmu rijalul hadits, dan kaidah ilmu Al Jahr wa Ta’dil bagi perawi hadits. Dalam ilmu itulah ulama Islam mencapai puncak karir yang belum ada lawannya sampai sekarang. bahkan sampai saat ini ilmu itu tersaingi dan tertandingi oleh ilmu orang barat, meskipun dalam ilmu lainmereka sudah jauh meninggalkan kita. Dengan demikian jelaslah sekali lagi bagaimana jerih payah ijtihad manusia yang menggunakan nur wahyu sebagai penyuluhnya, akan senantiasa mendapatkan karunia perlindungan dan pemeliharaan dari Allah SWT :

“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak akan memperoleh cahaya”(QS An Nur:40)
Ilmu Mantiq

Al Mantiq dikenal orang sejak sebelum masehi khususnya dikalangan bangsa Yunani, dengan aristoteles sebagai gurunya(322-384 SM). Ilmu ini merupakan suatu kaidah intelektualisme, berdaya guna dalam mengadakan perdebatan atau persaingan. Hanya situasi pemindahannya dalam bahasa Arab yang terjadi dizaman dinasti Abbasiyah, sangat memburukkannya.
Malah kesan sementara orang terhadap ilmu ini seolah-olah hanya berupa suatu debat kusir, sofisme(ucapan yang pura2 dalam tetapi sebenarnya kosong), dan lain2 yang semakin menambah buruknya. Dikalangan ulama Islam sendiri ada yang mendukungnya dengan gigih, seperti Al Imam Abu Hamid Al Ghazali, dimana dalam mukadimah kitabnya Al Musthafa ia menyatakan “Sebenarnya salah satu syarat seorang alim yang mujtahid, haruslah mendalami ilmu mantiq(logika), pandai membawa bukti dan menampilkan qias(perbandingan)”.
Dan ada pula yang menyerangnya habis2an seperti Ibnu Taimiyah, dimana Al Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa jilid 9, hal 270 menyatakan “Tidak tepat baik dipandang dari sudut agama maupun sudut akal, kata orang yang menyatakan bahwa mempelajarinya suatu fardhu kifayah. Ilmu ini sebagian hak(benar) dan sebagian batil(sesat) dan sebenarnya yang ada didalamnya tidak dibutuhkan..”.
Dan ada pula yang berdiri ditengah2 tidak memihak kesana atau kesini, membenarkan apa yang benar dan menyingkirkan apa yang salah.
Kami berpendapat dalam soal ini kiranya hal itu tidak usah dibicarakan secara mendalam bahwa keburukan ilmu mantiq bukan karena mereka hasil import, berapa banyak sudah ilmu2 lain yang diimport. Apalagi ia memiliki segi2 yang mengandung hikmah, dan hikmah itu adalah milik orang mukmin, jadi dimana ia ditemukan ya disitulah, dan orang tersebutlah yang paling berhak memilikinya.
Keburukan dari ilmu tersebut adalah karena ia tidak diperlukan. Memang benar didalamnya terdapat aksioma-aksioma, namun tidak diperlukan ilmu dan kaidah tersendiri. Maka tidak salah kalau kita akan membuang-buang waktu dan tenaga karenanya.
Dalam upaya kami untuk mengesampingkan Al Mantiq, kami berusaha menyusun kaidah2 yang bersumber dari Al Quran, dan usul2 fiqh sebagai gantinya, untuk memperoleh hasil guna dari keduanya dalam materi berdialog dan berdebat dalam membahas dan mencari kebenaran. InsyaAllah.
=================================


Kalaupun Al Imam Al Ghazali menekankan pentingnya mempelajari ilmu mantiq, tetapi ketahuilah, bahwa beliau menyatakan “fardhu kifayah” itu bagi mereka yang alim mujtahid, bukan bagi kebanyakan orang awam. Dimana sebelum Imam Al Ghazali mempelajari ilmu mantiq itu sendiri, beliau telah dikenal sebagai ahli syariah, juga seorang ahli fiqh, dan dengan kemampuannya itu beliau dapat memfilter untuk dirinya apa yang baik dari ilmu mantiq dan menggunakannya dengan benar, serta membuang apa2 yang menjadikan rusaknya cara pikir. Dan sungguh benar yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Tidak tepat baik dipandang dari sudut agama maupun sudut akal, kata orang yang menyatakan bahwa mempelajarinya suatu fardhu kifayah. Ilmu ini sebagian hak(benar) dan sebagian batil(sesat) dan sebenarnya yang ada didalamnya tidak dibutuhkan..”. Karena setiap manusia sudah dianugrahi akal oleh Allah, kita tidak butuh pelajaran aksioma2, ungkapan2 yang dalam tapi kosong, perumpamaan2 nisbi dll untuk berfikir dan memahami syariat agama ini, hanya buang2 waktu dan energi. Justru yang kita perlukan dalam memahami persoalan2 syariat agama ini adalah penjelasan yang benar dan lurus berdasarkan kaidah2 yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, dilanjutkan oleh para sahabat, dan dikembangkan oleh para imam mujtahidin yang hanif(lurus). Lantas atas dasar apa kita harus mempelajarinya???
Dan rasanya tidaklah berlebihan jika kita katakan ilmu mantiq ini memang memiliki tingkat ‘kerusakan’ yang cukup parah jika dipahami bahwa ia adalah segala2nya, banyak kita saksikan pelajar2 dan sarjana2 kita yang dulunya didalam negeri adalah orang2 yang hanif, mereka mendapat beasiswa/ bersekolah diluar negeri, dan ketika pulang ke dalam negeri, menjadi orang yang ‘nyeleneh’. Serta parahnya lagi, virus2 kerusakan pemikiran ini ternyata cukup berkembang di perguruan tinggi negeri islam di indonesia. Dimana kita pernah membaca beberapa kasus, seperti penginjakan lafadz Allah yang dilakukan oleh salah satu dosen, sekelompok mahasiswa yang berteriak “Anjing hu Akbar”, atau fenomena adanya ‘jilbaber’ yang senang berpacaran, merokok, dll. Sudahlah merugikan diri sendiri, merugikan orang lain lagi. So, berhati2ah dengan apa yang kita baca, kita dengar, dan kita lihat, karena ga semua yang kita baca, dengar, dan lihat itu adalah benar, meski itu datang dari seorang yang kelihatannya berpendidikan tinggi. Pelajari syariat agamamu, pahami dengan fitrah nuranimu, amalkan, dan sebarkan.
Wallahu’alam
Sumber link
http://pacaranislamikenapa.wordpress.com/2007/09/30/ilmu-mantiq-emang-perlu/

Ilmu Mantiq dan Perkembangannya

علوم المنطق والتنمية

عند الإغريق ، وحتى الدول في جميع أنحاء العالم ، وأرسطو هو رمز من العقلانية. انه هو مؤسس بطريقة منظمة للتفكير في أماكن العمل ، وتعادل بعد ذلك الاستنتاج. ويسمى ما يتم فعله لمنطق أرسطو. اليونانيون الذين غطوا سابقا في العالم من الخرافة ، كما لو كان الذهول ومنوم من أعمال أرسطو. أرسطو منصب معلم الكسندر (نجل الملك المقدوني فيليب) ومدرس الفلسفة في المدرسة التي أسسها في أثينا ، وصالة حفلات ، مما يجعل أفكاره المعروفة في خضم المجتمع اليوناني. يصل إلى حد معين ، ومنطق أرسطو أن يجد لنفسه مكانا هو المرموقة جدا ، لا سيما في عالم المعرفة. وقد المنطق الأرسطي قادرة على افلاطون terabadikan "الأفكار متقيا' حتى مرتبة في "الحوار" عليه. أفكار عقلانية قادرة على الهيمنة الإغريق ، حتى إذا كانت الظلال إغلاق banyang two الفلاسفة قبل سقراط وأفلاطون. لذا ، ليس من باب المبالغة أن الإغريق اعتبر أرسطو الله ربا والعقلانية. العقلانية بلغة غير قادرة على إذابة العلماء في عصره لتكشف عن جوهر kebenaran.Rasionalitas في العلوم سوف يكون دائما التبجيل وكذلك في السياسة الديمقراطية. وسوف تستمر في التطور المنطق واتخاذ الأدوار التي هي ذات أهمية كبيرة لجميع التطورات التي "ليست مطلقة ، وخصوصا عندما تجد الأشياء الجديدة التي تتطلب المنطق. من الناحية النظرية ، فإن أرسطو تفعل دائما النهج العقلاني. وينعكس هذا في كل من أعماله. حتى في الكون ، كما يقول ، لا يسيطر عليها تماما الأشياء التي من قبيل الصدفة. حركة الكون يخضع لقوانين عقلانية. وينبغي أن تستخدم الملاحظة التجريبية والأسس المنطقية في كل جانب من جوانب العالم لمسألة منهجية. مع 'العقيدة' هي الثقافة الأوروبية بدأت في الانتقال من الأشياء التي beraromakan التصوف والخرافات إلى النسبة.

صياغة منطق أرسطو ومكث كأساس للعلوم المعرفية يهدف إلى فهم والتعرف على كيفية تحقيق البشر المعرفة الحقيقية للكون ، إما بشكل كامل أو لا ، وكشف الحقيقة. سبب ليكون هناك توازن ، لأن الأكثر أهمية هو معقول للتمييز بين الناس مع كافة إمكاناتها من المخلوقات الأخرى. "وا آل Sam'a Ja'ala lakum وا وا آل أبشر آل آف` idah "(سورة : 67 الآية 23). يقول ابن خلدون "بالعربية` idah "سبب للاعتقاد بأن معنى ينقسم إلى ثلاثة مستويات. الأولى ، أن العقل يدرك جوهر خارج الذات الإنسانية بشكل طبيعي. معظم النشاط في الشعور هنا هو مفهوم (tashawwur) ، والذي يميز ما هو مفيد وما هو كارثة. الثاني ، وهو العقل الذي جلب اليها الأفكار والعمل في سياق التفاعل الاجتماعي. Aktvitas الشعور هنا هو الشرعية (tashdiq) الناتجة من التجربة. وبالتالي فإن الشعور هنا يشار إلى الشعور التجريبية. والثالث ، وجلب اليها عقل أن العلم وافتراضات ما وراء الحواس ، وبصرف النظر عن التجارب التجريبية أو ما يسمى ب "nazhari معقولة". تعاونت هنا مفهوم (tashawwur) وشرعية (tashdiq) لإنتاج الاستنتاج.

يجب تعريف المنطق كعلم لدراسة القوانين الفكر مع التبرير المناسب لها نقطة عن الحقيقة نفسها. ثم وصل الخبير المنطق في هذه الحالة الختام ، وهذا هو ، عند بيان وفقا لحقيقة أنه كان صحيحا والبيانات التي تستند إلى التماسك المنطقي هو الصحيح ، لأن السلطة نعتقد أننا نعرف مدى الحقيقة. العقل الذي لا يستند إلى الحقيقة لا يملك السلطة. إذا بالتزكية يؤدي الى المنطق هو تمثيل لمعرفة كل الحقيقة ، وسوف تنشأ مسألة منطق "والاستقلالية" ، إذا بما في ذلك أجزاء من المعارف والعلوم ، أو ببساطة "أذناب"؟ رزانة تصنف المعرفة إلى ثلاثة محاور رئيسية ، هي الميتافيزيقيا ، الديالكتيك والأخلاق. والديالكتيك هو المنطق. لذلك هم أكثر عرضة تضمين منطق كجزء من الفلسفة. على النقيض من ابن سينا ​​(1037 م) في كتابه آل فتة وا آل Tanbîhât هذا المنطق كعلم منفصل مستقل ، فضلا عن عرض ملف. في هذه الحالة ، الفارابي (950 م) يقول أيضا أن المنطق هو آل 'UlumRa'îs مستقلة. Keterpengaruhan المنطق العربي مع الأفلاطونية الجديدة وأرسطو واضح جدا عندما ينظر في هذه القضية ، لأن جوهر المنطق نفسه هو الأحكام القانونية لمعرفة ما هو غير معروف حتى الان. وفي الواقع لم يتم العثور على اختلافات عميقة ، إلا من زاوية الجانب يجعلها مختلفة بالرغم من ذلك.

بن خلدون تصنيف المعرفة إلى قسمين : الأول للعلوم ونقية المستقلة (العلوم آل Dhat maqshûdah ثنائية) مثل علوم الشريعة التي تشمل التفسير والحديث والفقه وعلم الكلام والفلسفة والعلم الذي يشمل الفيزياء واللاهوت. الثانية ، والعلوم للتعليم (عاليه ، Wasilah) عن العلوم البحتة المستقلة ، مثل علوم اللغة العربية والحساب كمقدمة لعلوم الشريعة ، والمنطق كمقدمة للفلسفة. وينبغي تقييم للتعليم العلم أن قدرة محدودة فقط كأداة مستقلة للعلم. لأنه إذا لم يحدث ذلك فإن العلم ، أو أداة تمهيدية الخروج من الاتجاه الأولي والغرض ، ويمكن أن تحجب تقييم علوم مستقلة. ويتم في الغالب مناقشة مطولة لعلم هذه المقدمة التي كتبها خلف العلماء. في التطورات اللاحقة ، إلا independenlah العلم يمكن أن يطلق عليها كعلم. في حين أن العلم لا يسمى وسيط العلم. بغض النظر عن العلم أم لا ، ليقول المنطق الغرض الحقيقي أو منطق ليست كما وضع الفكر القانوني ولكن يعتقد أن التماس الحقيقة ، التي هي خاطئة أو صحيحة.

المنطق والتنمية

في عالم العلوم ، ويتم استخدام الوسيطة وتعزيز الأفكار. ويمكن اختبار مدى صلاحيتها لكل وسيطة مع المنطق. وبالتالي ، لتحقيق وسيطة غير جيدة وتحتاج إلى الحق في السيطرة على المنطق. في هذه القراءة ، وأنا على الأقل قد استخدمت في صياغة منطق أرسطو روجت كمبدع من أشكال التعبير وتفسيرات جديدة في dialektita شكل أو المنطق. ولأن العلاقة تكون يتضح من بيان والجواب المنطقي من قبل صياغتها. العثور على أخطاء الاستدلال عند عدم استخدام القوانين والمبادئ وطرق التفكير. المغادرين من البحث عن الحقيقة العلماء اليونانيين مثل سقراط وأفلاطون وأرسطو المزيد من الحوافز لصياغة طريقة التفكير العقلاني.

تجربة مجموعة متنوعة من المنطق في مرحلة تطوره. شكل من أشكال المنطق الصوري القائم اليوم هو مظهر من مظاهر التعاون بين خبراء من الكلاسيكية والحديثة. لكن رواد الحقيقي للمنطق أرسطو الرسمي ، على الرغم من شعور مختلف لالمنطق الرسمي الحديث. في جوهره ، هو منطق غير منفصلة عن المسألة ، والتي في البداية هو الذي يحقق التفاهم على 'الشيء' (شيء). ولكن علماء الحديث بداية لشيء ما لذلك سوف تظهر التفاهم. معنى المنطق اليوناني في وقت مبكر هو الكلمة التي يتم تفسير ذلك على أنه شعور والعقل وبرهان و. في الآونة الأخيرة حول الميلادي 2 العرب واعتمدت لغة ترجمت محدودة من حيث الكلام وtalaffud دون ربط ذلك مع المعنى الحقيقي الذي يستخدم في اليونان في ذلك الوقت. يمكن كانت معبأة بعناية تكوين منطق أرسطو مع قطع اثرية من أعماله بكميات كبيرة يمكن أن يقال ليكون واحدا من عوامل تطور المنطق الأرسطي إلى العالم العربي. وأشار Sejarahpun ، وقد ترجمت العديد من الأعمال أرسطو إلى لغات مختلفة مثل السريانية والعربية ، وبلاد فارس والهند. لذلك لا عجب إذا كان أسلوب أرسطو جدا "مرذرذ' عمت تقريبا كل فرع من فروع العلم.



ILMU MANTIQ DAN PERKEMBANGANNYA

Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah ikon rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-premis, dan kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika. Bangsa Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan terhipnotis dengan karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan tertentu, logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam “dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik. Logika akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional. Hal ini tercermin dari setiap karyanya. Bahkan alam semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris dan landasan-landasan logis harus dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Dengan ‘dogma’ inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik dan takhayul menuju rasio.

Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.

Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir dengan tepat harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika, apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan? Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu independen sekaligus sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yang independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja yang membuat seakan berbeda.

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu murni-independen (‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang lebar terhadap ilmu pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam perkembangan selanjutnya, hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak hukum berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.

Logika dan Perkembangannya

Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan. Setiap argumen dapat diuji keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan benar perlu menguasai logika. Dalam pembacaan ini, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan logika yang diusung Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru yang berupa dialektita atau logika. Karena korelasi sebuah pernyataan dan jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan penyimpulan ditemukan ketika tidak menggunakan hukum, prinsip dan metode berpikir. Berangkat dari upaya pencarian kebenaran tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles semakin gencar untuk merumuskan perangkat metode berpikir yang rasional.

Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk logika formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar klasik dan modern. Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda dengan logika formal modern. Pada hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang pada awalnya merupakan sebuah pemahaman sehingga akan mewujudkan ‘thing’ (sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali dari sesuatu sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal logika Yunani adalah kalam yang kemudian dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan. Baru sekitar abad ke-2 M bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu kalam dan talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang digunakan di Yunani ketika itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai peninggalan karya-karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu faktor berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun mencatat, banyak karya Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab, Persia dan India. Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’ merasuki hampir di segala cabang ilmu pengetahuan.

Ada enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu, “Categoria Seu Praediecamenta” (al-Maqqûlât), “Perihermenias Seu de Interpretatione” (al-‘Ibârah), “Analytica Priora” (al-Tahlîlât al-Ulâ), “Analytica Posteriora” (al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis Communis” (al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis” (al-Safsathâ’i). Seiring dengan perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak mengalami perubahan, yaitu dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal), ‘Retorika’ (al- Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ” Mafâtîh al-‘Ulûm” juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema tersebut. Lain halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang tidak mengkategorikan ‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.

Sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai Khalifah Al-Ma’mun (masa penerjemahan terhadap karya pemikir Yunani dimulai pada masa Khalifah al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan Aristoteles. Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber kebenaran adalah akal. Segera Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari ilmu yang banyak berkembang dan tersimpan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak adalah ‘Sang Hero’ pada masa itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal yang ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani adalah ketika buku-buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya dan mulai tersebar maka agama Nasrani kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan kembali pada agama Yunani. Ilmu asing yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah Ayyub bin al-Qasim al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani ke Arab yang pada awalnya telah diadopsi dari Madrasah Iskandaria.

Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada periode selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur mempunyai pengaruh penting dalam pola berpikir manusia sehingga mengembangkan metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir baik secara deduktif dan induktif.

Rasionalitas Eropa Klasik-Modern

Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris yang sangat berbalik arah dengan perkembangan mantik di Arab-Islam. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman kristiani menghasilkan banyak pemikir dan filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua ordo baru yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan. Aliran ini dinamai sebagai filsafat Skolastik (dari kata Latin “scholasticus” yang berarti “guru”). Tema-tema pokok dari ajaran mereka antara lain hubungan iman-akal budi, eksistensi dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Dan pada masa ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat internasional. Berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia Islam, sebagaimana pendapat Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama mempunyai persamaan, yaitu sama-sama melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi dan mempunyai tujuan puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger de Brabant menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada akal, karena betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat melampaui posisi agama. Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat persuatif sedangkan agama lebih ke imajinatif.

Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa secara periodik terbagi tiga, yaitu pada permulaan abad Masehi (sekitar abad ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada pertengahan abad (sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-19 M. Yang perlu ditekankan di sini, bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad sangat menghegemoni hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai titik tolak pemikiran. Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal. Nah, hal inilah yang menimbulkan perpecahan dalam gereja. Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’ karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya tersebut didukung dengan hadirnya Madrasah Paris yang sedang naik daun sekaligus mendapat ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus. Penyelaman terhadap karya sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis. Karena banyak berlawanan dengan hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M. Maka, langkah selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam pembaruan gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.

Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal sehat dengan melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat. Dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja. Berbeda dengan pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yang menyatu dalam tubuh al-Masih. Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional. Agustine sedikit menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir. Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.

Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.

Descartes sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan Prancis abad pertengahan (1596-1650 M.) memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang berlawanan filsafat klasik tetapi justru mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik “apakah asal-muasal pengetahuan manusia itu?” diselaraskan dengan pertanyaan “bagaimana saya tahu?” adalah hepotesa aktif yang menuntut akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu. Pengaruh besar yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman tentang fisik alam semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia- bekerja secara mekanis. Oleh karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan dari sebab musabab mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan astrologi, magis dan takhayul, yang berarti juga menolak penjelasan teologis. Dia berpendapat seharusnya para ilmuwan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara matematis. Dia menyusun suatu sistem filsafat dengan metode matematika.

Perkembangan baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang biasa disebut masa enlightment atau Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke (1632-1704 M.), di Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778 M.) dan di Jerman ada Immanuel Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme, empirisme dan idealisme, Barat sampai saat ini mempunyai banyak aliran filsafat, yang kebanyakan hanya berkutat pada satu negara dan kebudayaan.

Nalar Arab- Islam

Terdapat banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari Yunani ke Arab. Ada yang mengatakan bahwa penerjemahan itu terjadi pada masa kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada juga yang berpendapat pada awal Daulah Abbasiyah. Al-Syahrastani sepakat bahwa mantik lebih dulu memasuki wilayah Arab sebelum zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8 M. Proses penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani didukung oleh upaya ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah asing. Namun, mantik dalam masa ini belum menemukan perkembangan pesat, bisa jadi keadaan sosial masyarakatnya memang belum butuh atau aksi pencekalan oleh ulama salaf yang begitu menghegemoni. Sebagian dari ahli sejarah mengatakan, bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam pemikiran Arab pada abad ke-7 M ketika masa penerjemahan Khalifah Ma’mun.

Menurut Deboura, belum tersebarnya mantik secara meluas disebabkan karena hilangnya beberapa dokumentasi terjemahan buku-buku mantik sebelum abad ke-8 M. Tetapi pendapat ini banyak disangkal oleh sejarawan lain, karena justru pada masa sebelumnya telah muncul ilmu nahwu yang banyak berdialog dengan mantik. Bahkan ulama nahwu dari Basrah ketika itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena dalam metodenya banyak menggunakan rasio. Hal tersebut sangat didukung oleh kondisi sosial politik Basrah yang terus berkecamuk, sehingga aksi perlawanan dan pertentangan dari tiap kelompok tak dapat dihindari. Akibatnya, mantik digunakan sebagai senjata perlawanan untuk adu argumentasi. Nah, hal ini sangat berbeda dengan ulama Nahwu Kufah yang cenderung kurang rasionalistik.

Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa, juga berpartisipasi dalam menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga ikut menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah awal penerjemahan buku-buku Yunani, hingga wafatnya murid dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak membantu proses penerjemahan.

Organon adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu juga banyak membantu dalam proses penerjemahan, yang secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya dalam kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen. Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan dalam penertiban ilmu antara filsafat Suryani dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran utama dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yang diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu kedokteran dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan hadirnya madrasah di Jundisapur (Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pada awal abad pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka tak bisa dipungkiri lagi, bahwa dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali dst.

Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai memberanikan diri untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang sekaligus mendapat persetujuan dari Khalifah al-Ma’mun (850-873 M). Kemudian mantik mulai berdialektika dan mempengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya, termasuk nahwu. Mantik dalam hal ini digunakan sebagai rumusan metode dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa, terlebih lagi dalam hal silogisme. Pada saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai merayap dan terus berkembang di tangan Qadariyah, baru diwariskan ke Mu’tazilah sebagai titisan golongan rasionalis. Pertemuan umat Kristen dengan logika menuntut cendekiawan muslim untuk lebih giat mempelajari mantik sebagai upaya dalam menjaga teologi Islam.

Pada dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam budaya Arab kurang lebih satu setengah abad. Penolakan terhadap filsafat termasuk logika Yunani baru terjadi pada masa Imam al-Asy’ari abad keempat Hijriah. Menurut beberapa penulis, penolakan yang sesungguhnya baru terjadi pada masa al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut al-Falâsifah pada pertengahan kedua abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi ada faktor-faktor positif yang terdapat pada logika Yunani sehingga dapat diterima di dunia Islam, di antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang memberikan kontribusi luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya, filsuf dan teolog muslim mempercayai akurasi dan kebenaran logika, bahkan sampai memasuki wilayah ketuhanan (metafisika). Kekaguman akan logika terjadi karena, dulunya, Islam yang hanya mengenal segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah, kemudian mulai beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah Islam sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min al-Dhalâl.

Logika Aristoteles memberikan perubahan besar dalam dinamika sosial masyarakat Arab, terlebih dalam urusan administrasi negara serta dalam sistem politik sekalipun. Mantik, pada masa itu juga digunakan sebagai piranti tata letak kota, karena Islam sebagai negara sangat membutuhkan sistem baru untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide materialisme yang diusung Aristoteles juga berperan dalam problematika pimikiran Arab-Islam, meskipun kontradiksi dalam hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika Aristoteles dapat disimpulkan dalam tiga hal; yaitu sebagai perangkat praktis dan media berargumen yang marak dalam berbagai perdebatan ideologi. Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu langkah kesuksesan pola pikir Arab-Islam, sehingga dengan mantik peran akal menjadi primer demi mencapai tingkat keyakinan. Dan terakhir, bahwa logika dijadikan sebagai media (wasîlah) untuk menyatukan berbagai ideologi dan pimikiran menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu sumber kebenaran dan pengetahuan.

Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi kala itu tak dapat dihindari. Karena menurut mereka belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan setan. Imam al-Syafi’i banyak mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat Aristoteles”. Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum zindiq”. Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist lainnya yang menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.

Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama Al-Ghazali (1059-1111 M). Perlawanan tersebut meluas dari wilayah timur hingga barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh akan hal ini karena mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak lain adalah salafi. Mantik dan filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang juga menjadi komentator atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan kritikan terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran Stoicisme. Meskipun demikian, perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan Kairo, hal 138). Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.

Dalam tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke dunia Arab melalui jalur kedokteran, dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya dengan ilmu kalam oleh Ghazali (al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd). Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana muslim pertama yang banyak berbicara logika serta menghubungkannya dengan ilmu Islam lain adalah al-Ghazali, maka tak heran jika ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah tidak dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani), melainkan mulai disusupi nilai-nilai keislaman. Dialektika mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak, bahkan ketika nahwu dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa, maka mantik juga merupakan ‘bahasanya’ akal. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk memutuskan yang baik dan buruk.

Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia dijadikan sebagai pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam mantik, berakhirnya madrasah Bagdad menjadikan mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya sekitar ke-13 dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada karya Aristoteles. Di sisi lain, sekitar 970-1030 M. muncul jamaah Ikhawan al-Shafa dengan basis terbesarnya di Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi lebih condong kepada Neoplatonisme, terlebih dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku mantik yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka, khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran Arab Islam.

Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia dari abad ke-12 hingga abad ke-13 M. dengan style baru yang mulai terbebaskan dari filsafat. Ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat, Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa mantik secara perlahan memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh dan ilmu sosial. Karena logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-problem teologis dan filsafat saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim untuk mempelajari logika dalam kapasitasnya sebagai kewajiban komunal (fardhu kifâyah). Terlebih lagi, buku-buku mantik karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi menjadi pedoman penting dalam kajian mantik sekaligus menjadi rujukan bagi para sarjana muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd dalam mengeleminasi logika Yunani ternyata menuai hasil yang tidak mengecewakan.

Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya

Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan. Dalam relasinya dengan ilmu kalam, al-Ghazali lebih mengunggulkan metode analogi (qiyâs) daripada eksplorasi (istiqrâ’) karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam yang diusung al-Ghazali bukan dalam artian harfiahnya (yaitu: pembicaraan), melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.

Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan signifikan pada abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan sebagai masa melangsungkan kembali kritikan-kritikan beserta ulasannya dari golongan rasionalis sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-Taftazani. Dalam beberapa kurun waktu selanjutnya merupakan masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami soal-soal akidah, salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al- Qaym. Nah, baru ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa penertiban materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas mantik. Maka standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.

Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu mengatasnamakan akal. Model penalaran al-Asy’ari dapat dikategorikan sebagai ‘orthodox style’, karena lebih setia dengan teks suci agama dibandingkan dengan mu’tazilah dan filsuf. Meskipun masih dalam lingkaran Islam, tapi penalaran yang dipakai mu’tazilah dan filsuf kebanyakan produk Yunani, sehingga mulai melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap kalam Tuhan, yang mereka anggap “mutasyabihât”. Nah, hal ini disebabkan kuatnya peranan unsur mantik serta dialektika. Maka sistem ini dinamakan ilmu kalam atau teologi rasional. Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah dan filsuf saja yang mengedepankan nalar, tapi al-Asy’ari pun menggunakan argumen dan dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder. Metodologi alAsy’ari yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian Al-Ghazali muncul dengan membawa kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa disebut bahwa madzhab ini sebagai jalan tengah dari berbagai ekstremitas. Praktis, semua titik-titik penting keagamaaan mereka dukung dengan argumen dan dialektik yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil bagi pemikiran keislaman. Sebagaimana pembahasan dalam teologi, pusat argumentasi kalam al-Asy’ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya hari akhir dan malaikat. Konsep ‘kasb’ termasuk salah satu teori yang diyakini pengikut al-Asy’ari, karena pengolahan argumentasinya dinilai sangat logis.

Kajian fikih berkembang pada saat peralihan zaman Umawiyah ke zaman Abbasiah, yaitu berdirinya “school of thought” oleh Abu Hanifah (699-767 M.) yang terbentuk dalam lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran ajaran Islam sangatlah riil, terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam setiap ilmu. Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan pertimbangan kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi’i meneruskan tema aliran pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya. Dalam tataran ini, Syafi’i sangat berjasa dengan teori yang dirumuskannya, sebagai dasar teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai metode rasional untuk mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus ulama (ijma’) juga diterima Syafi’i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak fikih berkat Syafi’i ada empat yaitu Kitab Suci, hadist Nabi SAW, ijma’ dan qiyas.

Dalam disiplin ilmu nahwu, mantik dengan analogi-nya sangat berperan penting. Kecenderungan pemakaian qiyas seiringan dengan munculnya gramatika dan kaedah bahasa, terutama oleh para ulama bahasa yang ada di Bashrah. Mereka lebih memilih mengkiaskan dengan metode sima’i terhadap dalil fasih yang mereka pakai untuk ber-istinbath. Ketelitian dalam mengambil argumen merupakan ciri khas mereka, berbeda halnya dengan ahli nahwu Kufah. Untuk menetapkan qiyas mereka tidak sepenuhnya selektif terhadap dalil-dalil yang akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan keterpengaruhan pemikiran mereka dengan corak filsafat Persia yang lebih mengutamakan logika akal dari pada dalil. Adapun faktor lainnya, yaitu keterbatasan sumber-sumber dalil di samping letak geografisnya yang jauh dari pusat keilmuan dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang digunakan ahlu nahwu dalam pengambilan hukum, karena ternyata teori illat atau apologi juga banyak difungsikan.

Jika diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah berapa cabang keilmuan yang telah disisipi kekuasaan logika? Bahkan sampai kepada pengetahuan yang bertendensi iluminasi atau intuisi sekalipun, hal ini membuktikan bahwa peran akal beserta rumus-rumusnya akan selalu dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya. Tasawuf sebagai disiplin ilmu irasional, dalam beberapa halnya-pun menggunakan teori dan asas logika. Politik, sosial, kedokteran, aritmatika, dan masih banyak disiplin ilmu lain yang pasti membutuhkan aturan berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran yang dituju. Namun, kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, sedangkan agama kebenaran yang dituju adalah sebuah kebenaran mutlak.

Epilog

Itulah sekelumit proses berpikir manusia, sebuah perjalanan panjang dalam rangka merelevansikan diri terhadap peradaban manusia yang tak kunjung usai. Bahwa rasional sejatinya irasional, karena bertolak dari sebuah pengandaian yang tidak dapat terpenuhi. Yaitu, segala sesuatu pastinya dapat dimengerti seseorang. Sikap rasionalis mencerminkan seseorang suka akan tantangan. Dikatakan seperti itu, sebab dia harus benar-benar memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya. Berbeda dengan irasionalis, yang menolak tantangan semata- mata karena keyakinan. Lawan rasionalisme adalah fedeisme, yaitu sebuah sikap yang membatasi diri pada iman, akal dan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap penggunaan nalar manusia tidaklah perlu. Sekalipun, mereka juga tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar merupakan ciptaan Tuhan.

Dengan sebuah historitas, mungkin kita akan sedikit mengetahui bahwa hantaman dan pengikisan mantik pada abad pertengahan adalah problematika terbesar, yang bahkan sama sekali tidak terpikirkan oleh Aristo sendiri sebagai pencetak awal logika. Dan yang patut dihargai adalah upaya akselarasi-akselarasi oleh ulama Islam sebelum di bawa ke Barat, yang setidaknya menjadikan metode ini mulai diterima. Bisa jadi perihal tersebut juga sedikit melegakan Aristoteles, bahwa ternyata masih ada pembela-pembela intelektual terhadap karyanya yang terseok-seok melawan arus peradaban terutama oleh para agamawan.

Kompleksitas yang dipresentasikan akal akan bertaut kelindan sampai suatu masa yang tak terbatas, boleh jadi akan menuju pada sebuah kesempurnaan misteri, bahkan sebaliknya. Tetapi apapun itu, akal tetaplah akal, yang telah menyumbangkan peradaban besar dari sejengkal langkah manusia.

Ringkasan Mantiq


المنطق هو الأداة الأساسية أو أن استخدامه سوف تبقي أخطاء في التفكير.

بشكل أكثر تحديدا ، المنطق هو العلم الذي يتعامل مع أدوات التفكير والصيغ ، حتى أن الشخص الذي يستخدم أنها سوف تنجو من طريقة تفكير خاطئ. والبشر الذين يعتقدون ككائنات لا مفر من التفكير. ومع ذلك ، عند التفكير ، وغالبا ما تتأثر البشر عن طريق مختلف الميول والعاطفة والذاتية وغيرها بحيث لا يستطيع التفكير بوضوح ، منطقيا وموضوعيا. المنطق هو محاولة لشخص أن يفكر بالطريقة الصحيحة ، وليس خطأ.

قبل أن نتعلم مشاكل المنطق ، لأنها تساعدنا على معرفة ما هو المقصود ب "التفكير".

التفكير هو عملية الكشف عن شيء من الغموض (maj'hul أو غير معروفة) من خلال معالجة المعرفة التي توجد بالفعل في أذهاننا (dzihn) بحيث يصبح ma'lûm majhul (غير معروف).

أخطاء التفكير العوامل 1. الأشياء الأساسية التي جعلت من (فرضية) ليس صحيحا. 2. الترتيب أو الشكل الذي تشكل فرضية لا يتفق مع قواعد المنطق الصحيح.

الجدال (التفكير العملية) في العقل البشري هو مثل البناء. وسيتم تشكيل لبناء إذا تتألف من مواد البناء ويتم وفقا لنظريات الصحيح. عندما لم يتم استيفاء أحد العنصرين ، فسوف لا يكون شكلت بناء جيدا والكمال. على سبيل المثال ، "[1] سقراط رجل ، والظالم [2] كل فعل الإنسان ، ثم [3] فعل سقراط غير عادلة". مثل هذه الحجج صحيحا من حيث الهيكل والمنتدى. ومع ذلك ، من منطلق واحد هو أن الفرضية التي تقول "كل الطغاة فعل الإنسان" ، ثم الاستنتاج غير صحيح. أو على سبيل المثال ، "[1] سقراط رجل ، و[2] سقراط كان عالما" ، ثم "[3] الرجل هو عالم". من الفرضيتين صحيحا ولكن هذا الترتيب أو المنتدى ليست صحيحة ، ثم الاستنتاج غير صحيح. (سوف يكون في مناقشة القياس الصحيح في وقت لاحق أوضح هيكل الوسيطة ، من ركلة جزاء).



Definisi dan Urgensi Mantiq

Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.

Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.

Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".

Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).

Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir 1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar. 2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.

Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim". Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).

Ilmu dan Idrak

Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:

Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".

Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.

Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.

Dharuri dan Nadzari

Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.

Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.

Kulli dan Juz'i

Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.

Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.

Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.

Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.

Nisab Arba'ah

Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah". Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi (ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).

Tabâyunadalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta'rifat

Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.

Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".

Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".

Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.

Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.

Macam-Macam Definisi (Ta'rif)

Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah"). Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.

Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)

Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).

Macam-macam Qadhiyyah

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.

Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).

Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.

Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)

Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).

Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".

Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.

Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.

Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah

Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.

Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.

Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:

Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan
Salibah kulliyyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
Mujabah juz'iyyah: Sebagian manusia pintar
Salibah juz'iyyah: Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.

Hukum-Hukum Qadhiyyah

Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.

Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).

Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.

Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.

Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar.

Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".

Tanaqudh

Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

Kesamaan tempat (makan)
Kesamaan waktu (zaman)
Kesamaan kondisi (syart)
Kesamaan korelasi (idhafah)
Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).

Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:

Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

Macam-macam Qiyas

Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.

1. Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).

Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.

Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).

Empat Bentuk Qiyas Iqtirani

Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :

1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.

Syarat-syarat syakl awwal.

Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:

a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".

Syarat-syarat syakl kedua.

a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".

Syarat-syarat Syakl ketiga.

a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)

Syarat-syarat Syakl keempat.

a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.

Qiyas Istitsna'i

Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah. Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah". Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)". Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)". Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".

(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika "Pengantar Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober -1 November 1999 M)